Sabtu, 26 Januari 2013

CERPEN : PEREMPUAN HEBAT

PEREMPUAN HEBAT




Oleh : Faiha Ansori

Aku selalu memanggil dia perempuan hebat. Perempuan yang selalu membawakan senyuman setiap ia memiliki rasa sakit, perempuan yang tidak pernah mengeluh meskipun selalu disakiti, perempuan yang selalu memberikan kasih sayangnya dari hati. Dia sangat tulus, setulus tetesan embun pagi yang selalu menyejukan ubun-ubun kepalaku hingga ke dasar hati. Dia itu adalah makna dari kehidupanku, ketika dia hilang, itu sama saja dengan membunuh kehidupanku pelan-pelan. Sekali lagi, dari ujung langit-langit malam aku bersorak, engkau memang perempuan hebat!
***
Pagi itu matahari mulai menggantung tersipu, aku mengintipnya dari balik tirai kusam yang sudah dihiasi sisa asap dari kepulan api lampu tempel. Sesekali aku hirup angin yang berlalu-lalang dengan anggun, namun sayang, kenikmatan itu berhenti sesaat ketika perempuan hebat-ku sedang menunduk terisak di bawah jemuran kain samping. Hmmh, ini memang sudah menjadi sarapan setiap pagi. Sebelum aku memakan sesuap nasi putih sebagai sarapan, sebelumnya aku harus menahan rasa getir melihat kesedihan perempuan hebat itu sebagai hidangan pembuka. Mungkin karna itulah sampai saat ini aku masih kurus kerontang seperti ini.

Dengan sigap aku hampiri perempuan hebat itu. Aku ambil sapu tangan kusut dari saku seragamku. Kuhapus pelan-pelan air matanya sambil berusaha menghiburnya. Lalu dia tersenyum sesaat dan lagi-lagi memberikan pancaran kasih sayang yang tidak terkira.

“ Jadilah orang pinter ya, nak! Jangan pernah kecewakan ibu, “

Aku mengangguk dengan begitu bersemangat.
“ Akan kuhadiahkan piala-piala buat ibu, nilai yang bagus buat ibu, piagam-piagam buat ibu, dan kalau aku sudah sukses akan aku buatkan untuk ibu rumah yang bagus, “
Aku memeluk perempuan hebat itu dengan penuh rasa cinta. Ternyata aku menjadi manusia paling beruntung memiliki perempuan hebat sepertinya. Dia membelaiku dan sesekali mengecup kepalaku.
Sesaat aku rasakan, beban yang selama ini ia tanggung begitu berat masih saja ia simpan dengan senyum di balik hatinya yang rapuh. Hari ini mungkin ia dimaki-maki bapak, besok hari mungkin ia melihat bapak selingkuh, lusanya dia kena pukul tangan bapak, dan hari-hari berikutnya entah apalagi yang harus dia terima. Tapi sekali lagi ia tidak pernah mengeluh di hadapanku ataupun saudaraku yang lain. Sayang, umurku baru sepuluh tahun. Aku masih belum berani mengajak ibu pergi meninggalkan bapak. Aku masih belum berani menjamin kehidupan ibu agar bisa lebih baik dari sekarang. Karna itu, aku segera ingin pintar dan sukses seperti apa kata ibu. Perempuan hebat-ku, tetaplah jadi bintang dalam hidupku untuk menerangi setiap langkahku yang gelap, batinku. Lalu dengan wajah gamang kusentuh telapak tangannya.
“Bu, ibu masih sedih?”
“Ibu tidak akan pernah sedih nak, kamu tahu kenapa?”
Aku menggeleng pelan.

“Karna ibu memiliki kamu, “
“Benarkah ibu tidak sedih?”
Aku menatapnya tajam.
Dia hanya tersenyum, kemudian membalikkan badan. Aku yakin dia menangis. Aku yakin itu.
***
Kali ini matahari menghajarku habis-habisan. Beberapa peluh dan keringat bercampur membanjiri leher dan tubuhku. Namun aku masih berlari-lari dengan begitu bersemangat. Sepatu merk Warrior jaman dulu yang aku pakai sudah hampir lepas dan sobek. Aku tak peduli, aku ingin memberikan kado special untuk perempuan hebat-ku.

Langkahku mendadak terhenti, perempuan hebat itu tidak berdiri di depan pintu menungguku. Mendadak menjadi khawatir atau semacam takut yang sedikit menggila. Aku lihat ibu terkapar di tempat tidurnya. Asmanya selalu kambuh, dan sekarang sebagian tubuhnya sudah hampir tak bisa digerakkan. Namun dia masih tersenyum melihat kehadiranku.
Perlahan aku berikan raportku padanya, dia tersenyum bangga.
“ Alhamdullilah, kamu juara lagi, Nak!”
Aku mengangguk sambil menahan rasa iba.
“ Ibu kenapa?” Lagi-lagi dia tersenyum.
“ Ibu tidak apa-apa, nak. Ibu cuma lelah, “
Aku hanya terdiam iba ketika perempuan hebat itu dengan antusias melihat satu per satu nilai raportku. Dia begitu terlihat bangga. Tapi aku yakin dibalik itu sebenarnya dia sedang menderita. Dia lelah bukan karna tenaganya yang terkuras habis. Dia lelah karna kehidupan yang begitu pahit yang harus dia terima. Memar-memar di paha dan betisnya akhir-akhir ini selalu menjawab semuanya kalau dia itu selalu disakiti. Batinnya yang selalu menjerit dalam kelam malam itu seakan bicara kalau dia tidak mau dikhianati. Ya Allah, kenapa kau berikan seorang laki-laki bejad seperti bapak untuk perempuan sehebat ini?


Perempuan hebat itu mengulurkan kedua tangannya untuk memelukku. Aku lihat tangan kanannya bergetar-getar seperti menahan sesuatu. Aku semakin khawatir, perempuan hebatku harus menjadi seperti ini. Aku yakin dia sakit. Aku yakin batinnya sakit. Aku yakin,… dia benar-benar tersakiti.
Buru-buru aku memeluknya dan terisak dipangkuannya. Aku menangis karna aku benar-benar tak kuasa melihat raga ibu yang semakin hari semakin menyedihkan.
“ Ibu tidak boleh berdagang lagi, ibu tidak boleh kerja lagi, ibu tidak boleh memikirkan bapak lagi, ibu harus sembuh, ibu harus sembuh, “
Tangisku meledak dalam pangkuannya. Entah kenapa dia memaksaku untuk diam. Dia sama sekali tidak mengijinkan aku untuk menangis. Dia begitu tega tidak mengijinkan aku bersedih untuknya sendiri.
“ Nak, ketika kamu jatuh, jatuhlah! Tapi ketika harus terbangun, bangunlah sendiri. Itu artinya kamu harus mandiri. Jika suatu saat nanti kamu kehilangan ibu, kamu sudah siap menjalani kehidupan ini sendirian. Kamu harus jadi anak yang kuat, kamu tidak boleh menangis, “
Aku tahan tangisanku ketika mendengar perempuan hebat-ku berbicara dengan nafas beratnya. Mencoba menjadi karang seperti apa yang ia katakan, mungkin aku masih belum mampu. Apalagi harus menjadi perempuan hebat setegar dia. Mungkin ketika aku jatuh, aku harus mencari ranting atau uluran tangan seseorang, atau bahkan harus menangis merengek-rengek meminta bantuan orang lain. Karna aku bukan perempuan hebat seperti ibu. Aku hanya seorang anak yang tidak mau kehilangan cahaya hatinya. Aku hanya seorang anak yang masih ingin dipeluk setiap pagi oleh ibunya. Aku hanya seorang anak yang akan menangis ketika dia kehilangan sesuatu yang dicintainya.
Ibu membelaiku dengan sayang. Dia selalu menatapku begitu dalam seperti itu.
“ Tolong bu, jangan tatap aku seperti itu lagi,” desisku.
“ Kenapa, nak? “
“ Aku takut jadi pemberani, “

“ Kenapa harus takut? ”
“ Karena ketika aku jadi pemberani nanti, ibu pasti akan meninggalkan aku, “
Mendadak perempuan hebat itu terdiam dengan pandangan sayu.
“ Setiap orang harus pergi, nak. Suatu saat ibu juga akan pergi. Karena ibu sayang sama kamu, karena itulah ketika ibu harus pergi… maka ibu akan pergi, “
Aku semakin menunduk, merasa kalah oleh keadaan. Kubasahi raportku dengan tetesan air mataku.
“ Sekali lagi ibu bilang, kamu jangan nangis, nak! “
Mata ibu mengiris tatapanku. Dan aku terpaku seketika.

“ Aku menangis, karna merasa disayang seperti ini, disayang untuk ditinggalkan. Kalau begitu lebih baik ibu tidak menyayangiku, “
“ Jangan bicara seperti itu, nak. Meskipun ibu tidak tahu kapan ibu akan meninggalkan kamu, tapi ibu yakin suatu saat kamu pasti mengerti. Jika ibu terus-terusan bersamamu itu tandanya ibu tidak memberikan kesempatan untukmu mempelajari arti kehidupan. Ibu ingin kamu hidup bahagia dan sukses untuk ibu, “
“Untuk ibu?” aku berdesis pelan, “ aku harus sukses untuk ibu, harus bahagia untuk ibu, kenapa ibu harus sejahat ini? “
“Ibu tidak jahat, nak. Ibu sayang sama kamu, “

“Ibu selalu menyuruhku bahagia. Ibu selalu menyuruhku untuk selalu senang. Tapi kenapa ibu tidak pernah mengijinkanku menangis? Bahkan ketika aku menangis karna melihat ibu sedih pun, ibu tidak pernah mengijinkanku,”
“ Kamu salah nak, ibu tidak pernah bersedih, “

“ Kenapa harus bohong?”
“ Ibu tidak bohong, “
Aku mendadak kesal bercampur sedih, aku segera beranjak meninggalkan tempat itu. Aku tidak tahan berdebat untuk kehidupanku yang satu ini. Aku ingin menjadi perempuan hebat sepertinya, namun aku juga tetap ingin menjadi anak manis yang selalu merindukan kasih sayang ibunya.

“ Mau kemana, nak? “
Aku terpaku. Aku diam sambil mengusap air mata.

“ Kemarilah, nak! “ dia mengulurkan tangannya.
“ Aku tidak mau bu, “ aku masih memunggunginya.
“ Kalau kamu ingin menangis, menangislah dipangkuan ibu sekarang, “
Suaranya semakin datar dengan nafas yang tersengal. Mataku langsung berbinar. Aku segera membalikkan badan ke arahnya dan segera berlari ke pelukannya.
“ Menangislah nak, “
***
Empat tahun sudah, ini adalah sebuah perjalanan panjang untuk perempuan hebatku. Perjalanan dengan tangan dan kaki yang mati sebelah. Perjalanan dengan segala cacian dari suami tercinta, perjalanan hidup yang penuh perjuangan untuk selalu bisa tegar di hadapan dunia. Aku mulai benar-benar kalah dengan keadaan ini. Aku pasrah, dan ibu benar, semuanya harus diawali dari sekarang. Aku harus membahagiakan ibu ketika aku harus berusaha tersenyum menjalani semuanya. Tanpa keluh kesah dan rasa sedih. Semakin hari kondisinya semakin memburuk. Aku tidak pernah tahu apakah bapak juga peduli dengan perempuan hebat itu. Aku semakin merasa takut, terlebih ketika aku masih belum mampu memberikan yang terbaik untuknya. Perempuan hebatku benar-benar lumpuh. Aku hampir tidak percaya, mengapa tuhan memberikan ujian ini pada ibu yang selalu berbakti pada suaminya. Aku hampir tidak percaya mengapa Tuhan tidak memberikan rasa sakit itu untuk bapak yang selalu menyakiti ibu? Tuhan tahu tidak, senyum ibu itu sungguh seyum kehidupan?
****
Tanggal 8 Oktober itu masih menciut di tengah dingin mendung yang menyelimuti desaku. Aku masih belum faham mengapa angin mendadak bersemilir begitu dingin menusuk sum-sum tulangku. Aku masih belum faham mengapa hanya awan hitam yang menantang angkuh di balik gunung itu. Buru-buru aku tutup gorden kumalku. Aku tidak mau berfikiran yang tidak-tidak. Saat itu aku baru saja pulang mengaji, seperti mau ibu, aku harus bisa ngaji, karna itulah aku mulai belajar. Aku harus memulai semuanya dari awal, agar aku bisa menjadi karang seperti mau ibu. Agar aku bisa menjadi tegar seperti mau ibu. agar aku bisa menjadi perempuan hebat…. Itu seperti apa kata hatiku.

Malam itu juga aku mengaji untuknya. Aku berharap ibu mau mendengarkan aku. Meski dengan suara serak dan terbata-bata, entah bagaimana aku bisa melantunkan surat Yassin berkali-kali. Sampai tak terasa waktu sudah hampir pagi. Aku masih memandangai wajah ibu yang masih tertidur. Dia terlihat sangat cantik dan bercahaya. Ada berjuta ketenangan dalam tidurnya yang indah. Sesaat aku ingin menyelami wajah bidadari yang menjelma menjadi perempuan hebat-ku.
“ Bu, ibu cantik sekali, “ batinku. Namun mendadak aku baru sadar kalau ibu sudah tidak bergeming. Bahkan nafasnya yang naik turun sudah tidak aku lihat lagi. Aku mulai panik. Saudara-saudaraku datang berhamburan sambil menangis. Ternyata kecerahan raga dalam tidurnya adalah pertanda kedamaiannya yang abadi.
“ Dia bukan tidur, dia sudah meninggal, “ seseorang berbicara seperti itu.
“ Inalillahi…, “ Mendadak persendianku remuk dan darahku berhenti. Aku seakan ditimbun batu-batu gunung yang besar dan berat.
“ Ini tidak mungkin, ini tidak mungkin, ini tidak mungkin! “ teriakku.

Aku lunglai di bawah kaki ibu. aku menciumi kaki ibu berulang-ulang sambil tak kuasa menahan tangis.

“ Bu, jangan tinggalkan aku, “

Aku menjerit sebisa-bisanya, berusaha protes untuk suratan yang tidak pernah kukehendaki. Kubersujud sebisa-bisanya memohon kepada-Nya mengembalikan ibu seutuhnya. Aku meronta sebisa-bisanya berharap tak ada satupun yang bisa memisahkan aku darinya. Namun sesaat kulihat sosoknya begitu damai, ternyata perempuan hebatku lebih bahagia dengan kepergiannya daripada hidup menderita bersamaku. Ya, dia harus pergi. Harus pergi!
****
Akhir Oktober 2002, saatnya melukis suatu impian dalam tidur yang tidak nyata. Bahkan impian-impian sesederhana apapun, untuk kali ini aku tidak punya nyali.

Aku masih berlari-lari dengan sepatu warior jebolku disaat matahari menghajarku habis-habisan. Aku bermandikan peluh dan keringat. Tapi aku masih terus berlari dengan begitu bersemangat. Aku ingin memberikan kado special untuk perempuan hebatku.
Namun sekali lagi aku terpaku di depan pintu. Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada ibu, tidak ada impian ibu, tidak ada cahaya ibu, tidak ada senyuman ibu,…. Dan tidak ada perempuan hebatku! Aku melihat ngilu buku raport yang sudah terkena tetesan keringat. Kutelan bulat-bulat rasa pahit yang kuterima saat ini. Kekosongan hati tidak akan pernah terisi lagi. Tidak akan pernah kutemukan lagi sesosok bidadari yang menjelma dalam jiwa perempuan hebatku. Tidak akan ada lagi seseorang yang akan tersenyum dibalik pintu dari setiap nafas impianku. Aku akan merindukannya, rindu yang tidak pernah bisa terbalas. Seperti menunggu matahari muncul dalam kelam malam yang pekat. Atau menunggu tetesan embun terjatuh di siang yang terik. Aku mulai tergugu dalam kesendirian. Mencoba memaknai segala rindu, kasih dan cinta yang kian hilang.

Sejujurnya aku ingin marah.


Pelan-pelan ada angin bersiul simpul dibalik selaput gendangku. Dia menyibak-nyibakkan pipi dan mataku. Ada getir yang kian merajam setiap arteriku . Semuanya mendadak berhenti.


Aku membalikkan badan.

Aku menangis.



Cikarang, 21 Juli 2009 20.16 PM
Memory 8 October 2002

- - Untuk bunda tercinta di alam sana - -
Aku tidak akan pernah berhenti mencintaimu

4 komentar:

Unknown mengatakan...

Nangis baca cerpennya,,,:( membaca cerpen ini, mengingatkan saya pada takdir pahit 5 tahun yang lalu. Memang berat, kehilangan sosok ibu yang sangat berarti dalam hidup kita. Kerinduan yang takan pernah ada ujungnya & takkan terbalas, kekosongan hati yang takan pernah terisi lagi , kini hanya tersisa kesendirian dalam tangisan yang masih sangat merindukan kehadirannya. Tapi apa daya , hidup masih harus terus berjuang. Mudah-mudahan kita dapat dipersatukan kembali dengannya di Surga yang abadi. Amin ...

Unknown mengatakan...

dewi : betul sekali....sulit rasanya menerima kehilangan seseorang yang benar-benar kita cintai

hasil karya saya mengatakan...

Setiap anak pasti inginnya ditemani ibu,meski si anak telah punya anak.ketika sedih atau sakit anehnya tak lepas dari kepedulian ibu di masa kecil ingatan belaian ibu.Mudah2an kita para ibu menjadi ibu yg baik,shg menjadi kebanggaan anak2 kita.

Zulfahmi Adam mengatakan...

Ijin share sob (y)

Posting Komentar